Seandainya pohon bisa memberontak dan bicara tentunya ia bakal
menjerit ketika ditebang, seadainya satwa liar itu bisa bicara tentunya
ia bakal menyelamatkan hidupnya, namun kita sebagai manusia punya mulut,
hati, telinga, otak malah diam saja melihat, mendengar jeritan-jeritan
alam yang rusak ditangan kerakusan spesies manusia seperti kita ini.
Apakah kita bangga dengan kekuasaan kita sendiri sementara kita telah
melakukan bunuh diri secara perlahan bersama-sama oleh perbuatan kita
sendiri.
Sebelum kita membahas pecinta alam dan kegiatannya mari kita pahami
betul apa epistemologi dari “Pencinta Alam”. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata Cinta mempunyai empat makna, yakni, [1] ‘suka sekali’ ;
‘sayang benar’ ; [2] ‘kasih sekali’ ; terpikat’ ; terpikat ; [3] ‘ingin
sekali’ ; berharap sekali ; ‘rindu’ ; dan [4] ‘susah hati ; risau’ (1993
-190). Yang artinya pencinta diberi makna ‘orang yang suka akan’
(h191). Selain itu kata alam yang diserap
dari bahasa Arab, di Indonesia berkembang sehingga mempunyai tujuh
makna. Ketujuh makna itu ialah [1] ‘segala ada yang dilangit dan dibumi’
; [2] ‘lingkungan dan kehidupan’ ; [3] ‘segala sesuatu yang termasuk
dalam satu lingkungan dan dianggap satu lingkungan dan dianggap sebagai
satu keutuhan’ [4] ‘segala daya yang menyebabkan terjadinya dan
seakan-akan mengatur segala sesuatu yang ada di dunia ini [5] ‘yang
bukan buatan manusia’ ; [6] ‘dunia’ ; dan [7] ‘kerajaan ; daerah ;
negeri ‘ (h.22). Kalau kedua kata tersebut digabung maka arti dari
pencinta alam adalah ‘orang yang sangat suka akan alam’.
Namun tidak disaat ini, pencinta alam yang sebenarnya hanya pantas
ditunjukan pada masyarakat asli hutan, organisasi non pemerintah yang
peduli terhadap lingkungan dan alam, individu yang peduli dengan
lingkungan hidup lewat kemampuan yang dia bisa, seperti menanam pohon,
membuang sampah tidak sembarangan, tidak memelihara satwa liar yang
dilindungi UU, tidak menebang pohon ditaman nasional dan disekitar hutan
lainnya, naik sepeda, menulis tentang lingkungan, membuat film tentang
hutan dan kelestariannya, dan masih banyak lagi bentuk kepedulian
terhadap lingkungan.
Makna ‘orang yang suka akan alam’ berarti manusia yang peduli dengan
alam dan menjaga kelestariannya. Dengan menjaga kelesatariannya berarti
ia membela nasib hutan dan satwa liar yang sedang mengalami kepunahan
bukan berpetualang menantang andrenallin naik gunung, memanjat tebing,
atau membuka jalur untuk latihan atau dengan bangga bisa menaklukan
alam.
Sejarah memang harus dipelajari tentang pendirian pencinta alam yang
motori almarhum Soe Hok Gie, Herman Lantang dan kawan-kawan. Di era
60-an memang terjadi pergolakan masa transisi kemerdekaan. Invansi
politik praktis diluar kampus Universitas Indonesia lewat organisasi dan
kesatuan aksi mahasiswa dari berbagai atribut dan ideologinya berusaha
memasuki Universitas. Namun, Almarhum Soe dan rekan-rekannya tidak
peduli dan menjadi kelompok yang tidak memihak dengan kemelut politik
saat itu. Mereka lari ke gunung dan pergi ke tempat-tempat sepi
terpencil. Kalau penulis menyimpulkan contemplasi ala raja-raja Jawa
seperti pendeta-pendeta hinduisme. Mereka paham waktu itu posisi
benar-benar terjepit. Kebersamaan dan pengalaman itulah lahir istilah
pencinta alam, yaitu Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamita
FSUI. Di Tahun 1971 nama Prajnaparamita dilepas diganti dengan Mapala
UI. Alhasil bangsa yang euforia ini bermunculan organisasi pencinta alam
baik dari kampus dan diluar kampus.
Kegiatan mereka hanya berlarian ke gunung, ke goa, ke tebing hanya
untuk menikmati alam. Jaman abad ini sudah berubah namun masih ada saja
organisasi pencinta alam baik dari kampus dan masyarakat yang bergiat
untuk naik gunung, ke goa, arung jeram, ke tebing atau pendidikan
seperti gaya militer, menggampar seenaknya calon peserta dengan alasan
biar berdisiplin seperti militer. Padahal pendidikan ala militer dewasa
ini dengan kekerasan sudah mulai dikurangi.
Pernah penulis mendengar cerita dari aktivis lingkungan dari negeri
yang hutannya sudah hilang bahwa seandainya gunung itu dipenuhi sampah
dan hutannya gundul, iklimnya panas, sungai dipenuhi limbah pabrik,
tebing karst di bom dan batunya diambil untuk bahan lantai, meja, dan
satwa liar yang eksotik punah seperti Harimau Jawa, Jalak Bali. Apakah
organisasi pencinta alam baik itu dikampus maupun diluar kampus diam
saja melihat itu semua.
Memang
hutan Indonesia belum parah meski terlihat parah atau sungai-sungai
masih belum tercemar hingga bisnis olah raga arus deras pun menjamur
atau gunung masih ada tempat menarik meski jauh paling atas, goa-goa
masih banyak yang bagus, tebing-tebing masih menjulang tinggi toh mereka
hanya santai-santai saja atau tidak perduli sama sekali lebih
mementingkan event-event kejuaraan atau pelatihan-pelatihan yang tidak
ada hubungannya dengan makna dari pencinta alam. Sangat tragis benar.
Apa ada yang salah dari Almarhum Soe Hok Gie dan kawan-kawan lamanya
hingga penerusnya hanya mementingkan kepuasaan sesaat atau kode etik
pencinta alam Se-Indonesia yang syahkan bersama dalam gladian ke-4 yang
setiap kegiatan wajib dibacakan setiap kegiatan seperti maksud dari
pesannya Pencinta Alam Indonesia adalah sebagai dari masyarakat
Indonesia sadar akan tanggung jawab kami kepada Tuhan, Bangsa dan Tanah
Air. Dengan kesadarannya mereka (Pencinta Alam) menyatakan pada poin 2
yang isinya memelihara alam beserta isinya menjadi ucapan atau janji
tanpa makna (Lip Service).
Namun hasilnya pun hutan tetap gundul, satwa liar makin lama makin
punah, bencana lingkungan mulai bermunculan, bahkan pemanasan global
yang dibicarakan setiap negara dan para aktifis lingkungan dari LSM
dengan gencarnya mencari solusi. Sedangkan organisasi yang namanya
Pencinta Alam belum menunjukan taringnya untuk peduli terhadap
lingkungan. Bahkan hanya bisa dihitung oleh jari organisasi pencinta
alam yang peduli terhadap lingkungan. Atau menurut saran respon dari
pembaca tulisan Quo Vadis Pecinta Alam yang ditulis penulis mending
diganti saja nama pencinta alam dengan nama jenis petualang. Biar tidak
terjadi pembiasan makna dari kata Pencinta Alam.
Alhasil, makin sepinya minat pemuda sekarang untuk masuk organisasi
pencinta alam. Tradisi lama masih dipakai tidak ada formulasi-formulasi
baru untuk merefleksikan kegiatan-kegiatannya. Atau organisasi pencinta
alam dewasa ini telah bangga dengan “establishment” (kemapanan).
Kebiasaan-kebiasaan lama yang harus ditinggalkan malah terus
diulang-ulang saja seperti pendidikan dengan kekerasan atau perbedaan
yang antara senior dan yunior, pendendaman akibat dari pendidikan yang
keras, menebang pohon untuk simulasi SAR, atau pembukaan jalur. Meski
kecil namun tetap saja kita memberikan pendidikan yang tidak baik
terhadap masyarakat sekitar gunung atau hutan.
Pernah penulis ditanya saat masuk organisasi mahasiswa pencinta alam
waktu masih kuliah dulu oleh senior, apa tujuan anda masuk pencinta
alam? Penulis menjawab ingin mengenal alam lebih dekat. Namun, ketika
pendidikan tidak dikenalkan dengan alam malah disiksa di bentak meski
tidak ada kekerasan fisik, membuka jalur hutan dengan parang seperti
kesatria.
Ironisnya, bencana-bencana alam tidak separah di jaman itu. Namun
saat ini kita mendengar dan merasakan dampak dari penyakit lingkungan
seperti pemanasan global, banjir, longsor, tsunami, belum lagi
penyakit-penyakit aneh lainnya. Apa kita sebagai pencinta alam terus
merenung naik gunung?Apa kita sebagai pencinta alam masih saja manjat
memenuhi kepuasaan jiwa? Apa kita sebagai pencinta alam terus menelusuri
goa?Apa kita sebagai pencinta alam terus pergi keriam berarung jeram
melintasi sungai?Apa kita sebagai pencinta alam bangga dengan ucapan
sebagai penikmat alam? Waktunya kita bergabung dan belajar dari
organisasi-organisasi non pemerintah, masyarakat dengan kearifan
tradisional sekitar hutan yang peduli terhadap lingkungan untuk
melakukan sinergi bersama mencari solusi tentang kerusakan alam. Ini
tugas semua pencinta alam Indonesia di abad 21 ini. Waktunya
meninggalkan dunia petualang. Take Action Now.
gispala.wordpress.com
. (DPR/GP)
0 komentar:
Posting Komentar